TIMIKA, (Torangbisa.com) – Keputusan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Timika mengizinkan terpidana korupsi Eltinus Omaleng untuk pergi ke Jakarta demi perawatan medis memantik gelombang kritik tajam.
Dengan dalih alasan kemanusiaan, mantan Bupati Mimika ini
diberangkatkan pada Kamis (26/12/2024) pagi menuju RS Kanker Dharmais di Jakarta, meskipun publik mempertanyakan transparansi dan keadilan dalam proses ini.
Menurut Kepala Lapas Timika, Mansur Yunus Gafur, keberangkatan Eltinus dilakukan secara resmi dengan pengawalan tiga orang: seorang polisi, seorang perawat, dan seorang petugas Lapas. Izin tersebut diklaim telah mendapat restu dari Kantor Wilayah Kemenkumham Jayapura. Namun, publik skeptis terhadap alasan “perawatan intensif” ini, mengingat kerap munculnya kasus narapidana korupsi yang mendapat keistimewaan serupa di masa lalu.
Berdasarkan regulasi, narapidana hanya boleh keluar Lapas untuk keadaan darurat, seperti kebutuhan medis yang tak bisa ditangani di fasilitas Lapas. Namun, masyarakat menilai izin semacam ini lebih sering diterapkan secara longgar kepada narapidana kasus korupsi, yang seharusnya diawasi ekstra ketat karena kerugian besar yang ditimbulkan terhadap negara.
Kritik datang dari berbagai pihak, terutama aktivis antikorupsi yang menilai langkah ini mencederai rasa keadilan. “Mengapa justru koruptor yang diberikan kelonggaran? Apakah alasan kemanusiaan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan uang?” kata salah satu aktivis di Timika dengan nada tajam.
Tak sedikit yang menuding keputusan ini mencerminkan lemahnya integritas pengelolaan Lapas. Isu tentang kemungkinan adanya manipulasi data medis untuk mengakomodasi “jalan-jalan” narapidana korupsi pun kembali mencuat.
Kalapas Mansur Yunus Gafur saat dikonfirmasi menegaskan bahwa prosedur sudah dilakukan sesuai aturan, meski tak mengelak dari potensi audit dan evaluasi.
“Jika ada pihak yang meragukan langkah kami, kami terbuka untuk diperiksa,” ujarnya.
Namun, skeptisisme publik tetap menguat, mempertanyakan: benarkah ini murni soal kemanusiaan, atau ada “kemudahan” lain di balik layar? Kasus ini menambah daftar panjang dugaan kelonggaran terhadap narapidana korupsi, yang kian mengikis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.