Timika, Torangbisa.com – Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Mimika, Vinsent Oniyoma, dengan tegas menolak rencana pemekaran tiga Daerah Otonom Baru (DOB) di Kabupaten Mimika jika prosesnya tidak melibatkan secara penuh masyarakat adat Amungme, Kamoro, dan Sempan.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan pada Kamis (26/6/2025), Vinsent menilai bahwa rencana pembentukan Kabupaten Mimika Barat, Mimika Timur, dan Kota Madya Timika justru berpotensi menciptakan konflik sosial jika tidak menghormati prinsip partisipasi masyarakat adat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001.
“Pemekaran wilayah seharusnya menjadi alat pemberdayaan masyarakat, bukan sumber konflik baru,” tegasnya.
Vinsent mengkritisi pendekatan teknokratis Pemerintah Kabupaten Mimika, terutama kajian DOB yang dipresentasikan oleh Kepala Bappeda Mimika, Yohana Paliling, dalam rapat bersama DPRK Mimika pada 25 Juni 2025 lalu. Menurutnya, kajian itu tidak menyentuh akar realitas sosial dan kultural yang ada.
“Kajian ini bersifat top-down, minim konsultasi publik, dan tidak melibatkan pemilik sah tanah dan budaya: masyarakat adat,” ujarnya.
Ia bahkan mengingatkan bahwa Papua memiliki sejarah kelam akibat pengambilan keputusan sepihak, merujuk pada kasus masuknya PT Freeport pada 1967 yang berlangsung tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Kami tidak mau kejadian itu terulang. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) adalah harga mati!” tegasnya.
Untuk mencegah konflik dan menjamin keadilan, DAD Mimika mengajukan lima tuntutan strategis:
1. Forum Konsultasi Publik yang Inklusif libatkan tokoh adat, perempuan, dan pemuda dari Amungme, Kamoro, dan Sempan dalam setiap diskusi dan perencanaan.
2. Penerapan Prinsip FPIC, pastikan masyarakat adat mendapat informasi lengkap dan dapat memberikan persetujuan secara bebas dan sadar.
3. Pemetaan Wilayah Adat Berdasarkan Data Sosial Budaya identifikasi batas-batas wilayah adat secara akurat untuk mencegah konflik lahan dan kepemilikan.
4. Keterlibatan Formal Lembaga Adat dalam Tim Kajian DOB, berikan posisi strategis dan hak suara penuh bagi perwakilan masyarakat adat.
5.Penyusunan Perda Khusus, hadirkan payung hukum yang menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam seluruh proses pemekaran.
Vinsent mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru hanya demi ambisi politik dan program jangka pendek.
“Pemerintah jangan main gas terus sampai lupa diri. Nanti kalau rem blong baru tahu rasa. Otsus itu bukan soal dana atau proyek, tapi soal proteksi terhadap hak-hak dasar masyarakat adat!”
Ia juga menekankan bahwa Pancasila dan UUD 1945 seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan publik, terutama yang menyangkut tanah dan kehidupan masyarakat adat.
Menutup pernyataannya, Vinsent menyerukan dialog terbuka dan konstruktif antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan seluruh pemangku kepentingan.
“Kami ingin pembangunan yang menyatu dengan budaya, bukan meminggirkan yang punya tanah. Mari duduk bersama, bukan saling mendahului,” pungkasnya.