Timika, Torangbisa.com – Dalam Misa Perdana yang penuh makna dan spiritualitas di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, menyampaikan pesan mendalam dan tegas mengenai sikap hidup yang merusak persaudaraan sejati, yakni rasisme, mentalitas superioritas, dan budaya tinggi hati.
Di hadapan ribuan umat yang hadir pada Kamis (15/5/2025), Uskup Bernardus mengangkat isu sensitif namun sangat relevan di tengah masyarakat Papua dan bangsa Indonesia secara umum.
Ia menegaskan bahwa setiap bentuk perlakuan diskriminatif yang didasari atas ras, suku, atau status sosial adalah bentuk ketidaksetiaan terhadap ajaran Yesus Kristus.
“Budaya tinggi hati terhadap yang lain harus ditinggalkan, karena siapapun dia, kita semua sama di hadapan Tuhan,” tegas Uskup Bernardus dalam homilinya. “Inilah sikap budaya negatif yang mampu menghancurkan kehidupan dan itu tidak sesuai dengan prinsip ajaran Yesus.” lanjutnya.
Dalam nada pastoral yang kuat, ia menekankan bahwa tidak ada satu alasan pun untuk mempertahankan mentalitas eksklusif yang mengagungkan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
“Rasisme dan superioritas adalah bentuk kejahatan sosial yang telah meracuni banyak struktur, bahkan sampai masuk ke dalam kebijakan yang menindas, mengesampingkan, dan mengutamakan satu kelompok di atas yang lain. Ini harus kita lawan bersama, demi keutuhan dan keadilan dalam masyarakat,” lanjutnya.
Sebagai putra asli Papua yang kini dipercayakan menjadi gembala umat Katolik di Keuskupan Timika, Uskup Bernardus berbicara dengan keberanian moral yang menyentuh hati banyak umat.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk Gereja, untuk terus membangun budaya kesetaraan, saling menghargai, dan kasih tanpa syarat.
“Gereja harus menjadi ruang yang aman bagi semua, tempat di mana yang kecil dan lemah mendapat tempat yang sama mulia dengan yang kuat dan terpandang. Kita semua ini adalah saudara, ciptaan yang dikasihi Tuhan tanpa syarat,” ujarnya penuh harap.
Pesan ini disambut dengan antusias oleh umat yang hadir, banyak di antaranya merasa bahwa suara Uskup Bernardus mencerminkan harapan lama masyarakat Papua akan keadilan dan pengakuan martabat yang setara.
Misa Perdana ini menjadi bukan hanya momen spiritual, tetapi juga momentum moral yang kuat menandai dimulainya pelayanan Uskup Bernardus sebagai gembala yang tidak hanya menggembalakan dengan kata, tetapi juga dengan sikap yang berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan.