Timika, Torangbisa.com – Tidak terima anaknya mendapat perlakuan bullying dan rasisme dari teman sekelas, orang tua korban menggelar aksi demo damai di depan Sekolah Kalam Kudus, Jalan Yohanes Aikawe, Nawaripi, Senin (13/10/2025).
Dalam aksi tersebut, orang tua dan keluarga korban membawa spanduk bertuliskan “Stop Rasisme” serta menuntut pihak sekolah bertanggung jawab atas tindakan rasis yang dialami siswi kelas VII tersebut.
Since Lokbere, orang tua dari Brigita Lokbere—korban dugaan perundungan dan rasisme—mengatakan, anaknya yang bersekolah di SMP Kalam Kudus kelas VII Salomo sudah tiga kali mengalami perlakuan serupa dari rekan sekelasnya.
“Anak saya sekolah di sini, SMP kelas 7 Salomo. Tapi rasisme terjadi di sini. Hari itu tanggal 10 Oktober, kalau tidak salah hari Jumat. Ada teman sekelasnya yang memanggil dia ‘monyet’, dan itu bukan sekali tapi tiga kali,” kata Since Lokbere usai menyampaikan tuntutan kepada pihak sekolah.
Ia menuturkan, meski mutu pendidikan di Kalam Kudus dinilai baik, namun pihaknya sangat kecewa atas perlakuan yang dialami anaknya.
“Bahkan di dalam kelas, anak-anak pendatang main sendiri, anak-anak Papua main sendiri. Kadang anak saya harus keluar kelas mencari teman di kelas lain,” jelasnya.
Berdasarkan penuturan Brigita yang disampaikan kepada orang tuanya, ia mengaku ingin pindah sekolah karena merasa dikucilkan.
“Dia sering bilang, ‘Mama, saya mau pindah sekolah lain.’ Saya sempat tanya kenapa, padahal kami bayar sekolah mahal. Dia jawab, ‘Saya tidak punya teman, Mama.’ Kami berencana biarkan dia pindah setelah semester ini, tapi sekarang masalahnya bukan sekadar bully, tapi sudah rasisme,” ungkap Since.
Brigita sempat melaporkan kejadian tersebut kepada wali kelas, namun laporan itu tidak mendapat tanggapan.
“Waktu pertama kejadian, dia lapor ke wali kelas, tapi mungkin wali kelas sibuk. Dia bilang ‘izin, Mem’, dan guru hanya menjawab ‘sabar ya nak’, lalu keluar begitu saja,” ujarnya.
Atas kejadian tersebut, pihak keluarga menuntut agar siswa pelaku perundungan dan rasisme, serta wali kelas yang dianggap tidak menindaklanjuti laporan, dikeluarkan dari sekolah.
“Kami ingin anak yang membully itu dikeluarkan, bila perlu dipulangkan ke daerah asalnya. Wali kelasnya juga harus dievaluasi karena kami sangat kecewa,” tegasnya.
Since juga menyampaikan, hingga saat ini pihak sekolah belum menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada keluarga.
Ia berharap kejadian serupa tidak terulang lagi, serta meminta agar anak-anak asli Papua tidak lagi dikucilkan di lingkungan sekolah.
“Saya hanya ingin kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Kami ingin semua tahu bahwa kami bukan monyet, kami manusia seperti kalian. Hentikan bullying di sekolah, jangan kucilkan anak-anak Papua karena kami punya hak yang sama,” harapnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Kristen Kalam Kudus Indonesia, Pdt. Nining Lebang, menyampaikan bahwa pihaknya akan bertanggung jawab dan melakukan evaluasi terhadap insiden tersebut.
“Pada prinsipnya, sekolah adalah tempat anak-anak bermain, bertumbuh, dan mengenal satu sama lain. Sejak dulu, siswa di Kalam Kudus berasal dari beragam latar belakang karena kami ingin membangun masyarakat global,” ujarnya.
Menurut Miming, prinsip Yayasan Kalam Kudus adalah “kalau tidak kenal maka tidak sayang,” sehingga penting bagi guru, siswa, dan orang tua untuk saling mengenal agar terjalin hubungan yang baik.
“Mereka ini baru masuk kelas VII, jadi mungkin masih dalam masa penyesuaian. Kami berterima kasih kepada Dinas Pendidikan, DPRD Mimika, tokoh adat, dan orang tua yang sudah ikut menyikapi masalah ini. Bagi kami, orang tua adalah mitra sekolah,” ungkapnya.
Pihak Dinas Pendidikan dan Komisi III DPRD Mimika juga berencana menindaklanjuti persoalan ini sesuai prosedur, serta memastikan perbaikan sistem agar kejadian serupa tidak terulang.
“Kami akan meninjau bersama pihak sekolah dan semua pihak terkait. Ini bukan untuk menyerang siapa pun, tapi menjadi proses evaluasi agar sekolah tetap menjadi tempat yang aman dan mendidik bagi semua anak,” tutup Miming.
Jadi pemerintah memberikan hak kepada masyarakat untuk mendirikan sekolah dan mengelola sehingga kalau pemerintah memberikan hak berarti ada kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Yayasan.
Cuma Yayasan itu dia mengelola sekolah dan penggunanya adalah pemerintah. Karena ia masuk sekolah di sini adalah masyarakat Kabupaten Mimika otomatis pemerintah harus menjaga hak masyarakat dalam hal ini anak sekolah supaya mereka itu terlindungi. Artinya dia mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tadi sudah selesai sampaikan bahwa sesuai dengan undang-undang guru dan dosen itu untuk menjadi guru itu ada standar. Kenapa demikian, karena pendidikan itu sepaket dengan pengajaran artinya bahwa guru itu bukan cuma mengajar untuk kepintaran anak tetapi dia juga harus mendidik, jadi bukan cuma kognitif tetapi juga ada afektif dan psikomotor yaitu sikap dan keterampilan.
Jadi setelah ini kami akan mengadakan rapat dengan yayasan dan guru-guru di sini untuk melihat sebenarnya ada apa di sini, apakah yang salah itu pola pendidikan pendekatan pembelajarannya atau salahnya karena gurunya tidak memenuhi syarat profesional sebagai guru jadi itu yang akan kami evaluasi kembali.
Semua guru harus memenuhi 4 kompetensi guru yang profesional, yang pertama profesional itu berarti latar belakang pendidikan, penegogik, sosial dan yang terakhir kepribadian dia harus memenuhi itu.
Tadi saya bilang bahwa memang yang merekrut dan mempekerjakan guru adalah yayasan, itu mah karena ini ada masalah jadi kita harus evaluasi.
Supaya ke depan anak-anak kita tidak dirugikan oleh perilaku anak-anak yang mungkin tidak bertanggung jawab.