Politik

58 Tahun Freeport di Papua, Masyarakat Masih Menunggu Haknya, Emas Dikeruk, Masyarakat Ditinggal

×

58 Tahun Freeport di Papua, Masyarakat Masih Menunggu Haknya, Emas Dikeruk, Masyarakat Ditinggal

Sebarkan artikel ini
Anggota DPR Kabupaten Mimika, Anton A Niwilingame (foto: Umar/ Torangbisa.com)

Timika, Torangbisa.com – Ironi besar sedang terjadi di tanah emas Papua. Negara telah berhasil mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia, namun masyarakat adat Papua pemilik sah tanah dan kekayaan emas di Mimika justru harus membayar mahal untuk mendapatkan bagian yang sudah menjadi hak mereka.

Dari 51 persen saham yang diambil alih, sebanyak 10 persen dijanjikan untuk masyarakat Papua, setara dengan nilai fantastis Rp16,25 triliun. Namun hingga kini, dana tersebut masih mengendap di PT Indonesia Papua Metal Mineral (IPMM), tanpa kejelasan.

Ads
Iklan ini dibuat oleh admin torangbisa

Sesuai dengan instruksi Negara, telah dibentuk perusahaan daerah bernama PT Papua Divestasi Mandiri (PDM) untuk mengelola saham tersebut. Pembagiannya pun sudah jelas:

3% untuk Provinsi Papua Tengah, 7% untuk Kabupaten Mimika, Dari itu, 4% untuk masyarakat adat pemilik hak ulayat FPHS Tsingwarop, 3% untuk Pemerintah Kabupaten Mimika.

Masyarakat adat FPHS bahkan telah mendirikan perusahaan pengelola, PT Emas Tsingwarop Papua (ETSIPA), demi mengurus bagian mereka secara profesional.

Namun, yang menyakitkan adalah kenyataan bahwa masyarakat Papua harus membeli saham yang berasal dari tanah leluhur mereka sendiri, sementara Negara mengambil 41% saham secara gratis, hanya dengan menjaminkan emas milik rakyat Papua.

Di tengah perayaan ulang tahun ke-58 PT Freeport Indonesia, yang telah beroperasi di tanah Papua, kritik tajam datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Anton A. Niwilingame.

Menurut Anton, meski Freeport telah memberikan kontribusi terhadap pembangunan, sistem yang diterapkan oleh perusahaan itu dinilai sangat tertutup dan cenderung eksklusif.

“Masyarakat mayoritas tidak merasakan manfaat dari sistem yang diterapkan Freeport. Mereka merasa kehilangan tanah, gunung mereka hancur, sungai mereka tercemar, dan yang lebih parah lagi, negosiasi yang tidak transparan,” ujarnya.

Kritik ini semakin menguat dengan contoh buruknya infrastruktur yang menghubungkan wilayah-wilayah penting di Papua, seperti jalan dari Tembagapura ke Kampung Waa Banti yang sering putus saat hujan, serta akses jalan darat yang tidak ada di wilayah terdekat seperti Tsinga dan Aroanop.

“Masyarakat bangga disebut ‘Tiga Desa’, tapi kenyataannya, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Hak dasar orang asli Papua diabaikan,” tambahnya.

Dalam pernyataan tersebut, Anton juga menyinggung soal pengambilalihan 51 persen saham Freeport oleh pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo, dengan 10 persen dari saham tersebut dialokasikan untuk masyarakat Papua.

Namun, ia menyebutkan bahwa sebagian besar dari 7 perse yang diperuntukkan bagi Kabupaten Mimika, khususnya yang 4 persen seharusnya diberikan kepada masyarakat yang terdampak langsung, hingga kini tidak jelas distribusinya.

“Ini seperti bom waktu. Masyarakat bertanya-tanya, di mana hak mereka yang 4 persen? Pemerintah sudah berjuang memberikan saham, kenapa masih ditahan?” tegasnya.

Lebih lanjut, Anton mempertanyakan keberlanjutan produksi tambang Freeport yang sebagian besar diproses di Gresik, Jawa Timur, dengan 60 ton emas diproduksi setiap tahunnya.

“Timika punya tambangnya sendiri, tapi apa yang didapat masyarakat? Gunung kami dihancurkan, isinya dikeruk, tetapi kami tidak tahu ke mana hasilnya. Proses distribusinya tidak jelas,” ungkapnya.

Tuntutan untuk transparansi semakin menguat di akhir pernyataannya. Anton berharap, seiring bertambahnya usia Freeport, perusahaan tersebut bisa lebih transparan dalam mengelola serta mendistribusikan hak-hak masyarakat Papua.

“Usia Freeport sudah 58 tahun, seperti orang tua. Jangan sembunyikan hak masyarakat. Buka data, berikan hak kami dengan jelas!” serunya.

Tuntutan ini mencerminkan keresahan mendalam masyarakat Papua yang selama puluhan tahun telah hidup berdampingan dengan Freeport, namun masih merasakan ketimpangan dalam pembagian hasil tambang dan pembangunan di wilayah mereka.

Politik

“Sebagaimana yang disampaikan oleh Bupati Mimika dalam pidato pengantar Nota Keuangan LKPJ Dan PP APBD Mimika Tahuan 2024 yang disampaikan dalam Rapat Paripurna I Masa Sidang II, bahwa belanja daerah dianggarkan senilai Rp. 7.322.350.612.138,00 dan terealisasi sebesar Rp. 6.423.948.158.295,00 atau 87,73% .Dari Total Realisasi Pendapatan Daerah Dan Realisasi Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024 maka dihasilkan defisit sebesar Rp. 542.192.117.664,60,” tegas Adrian.

Politik

Sengketa tersebut berkaitan dengan SK Nomor 104/SK/DPP.PD/DPC/VIII/2024 tentang penunjukan Marsel Gobay sebagai PLT Ketua DPC Partai Demokrat Mimika, menggantikan Vebian Magal yang merupakan Ketua DPC terpilih untuk periode 2023–2028 yang masih sah berdasarkan SK Nomor 100/SK/DPP.PD/DPC/V/2023.